5 UTS-5 My Personal Reviews
UTS 5 - My Personal Review
UTS 5 - My Personal Review
Menemukan Diri Lewat Komunikasi
Sejak kecil aku dijuluki “Si Kidal.” Julukan itu sederhana, tapi pelan-pelan membentuk caraku melihat dunia: berbeda bukan berarti salah, hanya butuh cara berkomunikasi yang tepat. Di kelas Komunikasi Interpersonal dan Profesional, aku makin paham bahwa komunikasi bukan sekadar menyusun kata, melainkan membangun makna bersama.
Aku cenderung kuat di sisi logika—mudah menangkap pola, cepat memahami inti persoalan. Tapi pengalaman tugas dan kerja praktik di toko (yang ritmenya cair dan spontan) membuatku sadar: akurasi pesan tanpa kepekaan perasaan sering bikin orang merasa tidak dipahami. Dulu refleksku menjawab dengan argumen; sekarang aku belajar menahan diri, bertanya, lalu mendengar sampai tuntas. Ternyata, orang sering tidak butuh ditaklukkan dengan data—mereka butuh dirangkul dengan empati.
Sebagai anak bungsu dengan dua kakak yang jadi role model, ambisiku terkadang berubah jadi tekanan. Demi “mengimbangi”, aku suka memaksakan hal yang belum kupahami. Di mata komunikasi, itu mudah terbaca: nada suara menegang, pilihan kata jadi kaku. Di titik ini aku belajar menyetel ulang niat—bukan untuk menang debat, tapi terhubung. Di sinilah keseimbangan logos–pathos terasa nyata: logika memberi arah, empati memberi ruang.
Kebiasaan kidal juga mengajarkanku satu hal praktis: adaptasi sopan. Misalnya urusan salam—aku belajar membaca konteks budaya, menyesuaikan gestur, sambil tetap jujur pada diriku. Ini tidak remeh; bahasa tubuh adalah bagian dari etika komunikasi. Etos muncul saat kata, nada, dan tindakan selaras—jujur, tidak merendahkan, dan menghargai lawan bicara.
Aku juga menemukan bahwa kesadaran diri adalah hulu dari komunikasi yang baik. Saat aku paham apa yang kurasakan—entah gugup, defensif, atau ingin diakui—aku lebih sadar kapan harus berhenti berbicara dan mulai mendengar. Hasilnya, percakapan jadi lebih hangat dan solutif. Seperti nasihat dari panggung “Hamilton” yang selalu kuingat: keberanian bukan selalu berdiri di sorotan, tapi menulis bait pertama dan terus menyuntingnya bersama orang lain.
Pada akhirnya, perjalanan ini membentuk prinsip sederhana:
komunikasi yang efektif = jelas + manusiawi.
Jelas agar tujuan tercapai; manusiawi agar hubungan tetap utuh.